Balada PTT-Kasus Mutilasi Pertama di Pulau Bacan

Saya belum sampai ke IGD RSUD Labuha, perawat sudah ada yang teriak,
“Dokter Ihsan jaga kah? Nah lho… Mau ada mayat tanpa kepala katanya!”
Tentunya dengan logat khas setempat.

Kalimat perawat IGD ini jadi awal cerita kasus mutilasi pertama di Pulau Bacan.
Perasaan saya campur aduk. Antara senang karena bakalan seru, dengan kengerian normal akan mayat tanpa kepala.
Dan ternyata, sore itu yang datang bukan tanpa kepala (saja), bila masih bisa disebut mayat, hanya potongan tubuh perempuan dari pinggang ke bawah, dengan celana tidur yang melekat.

Kondisi ini cukup lama membuat saya terbengong. Ini apa? Apa yg bisa saya lakukan? Bagaimana melakukannya?

Setelah mencoba mengingat-ingat ilmu yg sedikit berbekas di kepala, akhirnya saya putuskan utk buka bab identifikasi jenazah dari buku Ilmu Kedokteran Forensik. Ya, karena memang ilmu forensik sudah hampir hilang dari kepala.

Pada kasus ini, peran dokter adalah identifikasi jenazah. Membuat data post mortem berupa ciri2 fisik pada jenazah, seperti jenis kelamin, perkiraan usia, tinggi badan, panjang rambut terpanjang, tanda lahir, tato, benda2 di sekitar jenazah (termasuk pakaian), dll.

Data2 ini kemudian akan dicocokkan dengan data pre mortem yang polisi punya. Data2 pre mortem ini bisa didapatkan dengan cara menyisir laporan orang hilang bila belum diketahui siapa jenazah tsb (spt pada kasus ini) atau rekam medis, foto panorama gigi, sidik jari, DNA, atau lainnya yg dimiliki oleh keluarga jenazah.

Tidak banyak data post mortem yang bisa saya dapatkan dari potongan tubuh ini. Sedikit yang saya dapat adalah: jenis kelamin (telah jelas), rentang tinggi badan (menghitung dari panjang tulang kering), dan motif celana tidur korban.

Polisi juga bekerja mencari aduan orang hilang. Salah satu nya datang ke rumah sakit. Esoknya seorang ibu mengaku tidak dapat kabar dari anaknya sejak sebulan yang lalu. Ada yg berpendapat utk beri kesempatan pada sang ibu utk melihat potongan tubuh tsb, dengan mengandalkan insting seorang ibu. Kontroversi, tapi tidak ada salahnya dicoba pikir saya saat itu.

Saat melihat potongan tubuh tsb, sang ibu sontak menangis karena dia merasakan adanya ikatan dengan jenazah. Tapi kami tidak bisa buru2 menyimpulkan, karena tidak ada bukti yang valid. Apa lagi, saya teringat dengan kata2 guru saya di Forensik FKUI, bahwa sering kali keluarga korban memiliki perasaan ingin klaim bahwa jenazah adalah kerabatnya. Mereka ingin kepastian, tapi kadang dipaksakan.
Dan betul saja, anak sang ibu tadi diketahui kemudian masih hidup di Makassar. Entah bagaimana ceritanya.

Tiga hari setelah potongan tubuh ditemukan, ternyata ditemukan lg potongan tubuh berikutnya. Berupa kepala dan, yang mengejutkan, janin. Dibawa oleh polisi ke rumah sakit dalam karung beras.

Tidak jelas, apa kah potongan ini merupakan satu kesatuan dng potongan sblmnya atau tidak. Bahkan sampai saat saya menulis ttg ini.
Tentunya perlu dipastikan. Dan kemana organ2 lainnya? Usaha yang kami lakukan saat itu adalah mencoba berkoordinasi dng kepolisian utk mengirim sample jaringan (rambut atau kulit misalnya) ke tempat yg bisa analisis kecocokan DNA. Tapi sampai sekarang pun, tidak ada kabarnya.

Dengan adanya rambut kepala dan janin, bertambah pula data post mortem yg saya dapatkan. Ukuran rambut terpanjang dan usia kehamilan (dihitung dari panjang tulang kering janin). Data2 ini pun dicocokkan kembali dng laporan kehilangan orang.

Entah bagaimana polisi bekerja, mereka akhirnya mendapatkan kecocokan. Alhamdulillah. Walau saya masih meragukan perihal kesatuan potongan pertama dengan kedua. Kemudian datang keluarga yang diyakini keluarga jenazah, berdasarkan data2 td. Ceritanya pun sesuai, perihal usia kehamilan, panjang rambut saat ini, dll.

Ketika polisi tahu identitas jenazah, lebih mudah utk menyelidiki kasus.
Singkat cerita, ditemukan lah tersangka yg merupakan pacar korban. Dia adalah orang terakhir yang diketahui bersama korban. Motifnya adalah ketidakmauan pelaku utk bertanggung jawab atas kehamilan korban.
Begitulah, berakhir kisah kasus mutilasi pertama di Pulau Bacan, Halmahera Selatan.

Mudah sekali berita tentang kasus ini menyebar. Begitu juga predikat baru saya di RSUD: dokter mayat.

~ oleh ihsaninho pada Maret 29, 2015.

Satu Tanggapan to “Balada PTT-Kasus Mutilasi Pertama di Pulau Bacan”

  1. Wah…keren kali tulisan dokter andalan gue ini..semoga bisa jadi buku..aamiin

Tinggalkan komentar